BAB II
PEMBAHASAN
A. PEMIKIRAN PENDIDIKAN
IMAM AL-GHAJALI
Al-Ghazali dipandang sebagai ahli pikir Islam yang meninggalkan pengaruh
yang besar dan memunculkan modal baru dalam. Al-Ghajali hidup pada masa para
lama fikih serta ilmu kalam mengajarkan kepada masyarakat upacara-upacara
lahiriah belaka. Al-Ghazali muncul dengan pemikiran kefilsafatan dan pemahaman
agama tanpa mengikuti aliran atau mazhab tertentu.[1]
Al-Ghajali lebih dikenal sebagai seorang yang telah melakukan pembangunan
agama” Islam dari pada sebutan seorang filosof. Di dalam sejarah filsafah
Al-Ghajali dikenal sebagai orang yang semula syak terhadap segala-galanya.
Perasaan syak tersebut timbul setelah ia belajar teologi (ilmu kalam).[2]
Untuk
mengetahui konsep pendidikan Al-Ghazali ini dapat di ketahui antara lain dengan
cara mengetahui dan memahami pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek
yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu aspek tujuan pendidikan, kurikulum
pendidikan, metode, etika guru dan etika murid
berikut ini.
1. Tujuan
Pendidikan
Rumusan tujuan
pendidikan pada hakikatnya merupakan rumusan filsafat atau pemikiran yang
mendalam tentang pendidikan. Seseorang baru dapat merumuskan tujuan kegiatan,
jika ia memahami secara benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan tujuan ini
selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, guru dan lainnya yang berkaitan
dengan pendidikan. Dari hasil studi
terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir
yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan ada dua. Pertama, tercapainya
kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kapada Allah, dan
kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia
akhirat. Karena itu ia bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada
sasaran-sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud pendidikan itu. Tujuan
ini tampak bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi.
Pendidikan
islam itu secara umum mempunyai corak yang spesifik, yaitu adanya cap (stempel)
agama dan etika yang kelihatan nyata pada sasaran-sasaran dan sarananya, dengan
tidak mengabaikan masalah-masalah keduniaan. Dan pendapat Al-Ghazali tentang
pendidikan pada umumnya sejalan dengan trend-trend agama dan etika. Al-Ghazali juga tidak melupakan masalah-masalah
duniawi, karenanya ia diberi ruang dalam sistem pendidikannya bagi perkembangan
duniawi. Tetapi dalam pandangannya, mempersiapkan diri untuk masalah-masalah
dunia itu hanya dimaksudkan sebagai jalan menuju kebahagiaan hidup di alam
akhirat yang lebih utama dan kekal. Dunia adalah alat perkebunan untuk
kehidupan akhirat, sebagai alat yang mengantarkan seseorang menemui Tuhannya.
Ini tentunya bagi yang memandangnya sebagai alat dan tempat tinggal sementara,
bukan bagi orang yang memandangnya sebagai tempat untuk selamanya.
Akan tetapi
pendapat Al-Ghazali tersebut disamping bercorak agamis yang merupakan ciri
spesifik pendidikan islam, tampak pula cenderung pada sisi keruhanian. Dan
cenderung tersebut menurut keadaannya yang sebenarnya, sejalan dengan filsafat
Al-Ghazali yang bercorak tasawuf. Maka sasaran pendidikan, menurut Al-Gahzali,
adalah kesempurnaan insani di dunia dan akhirat. Dan manusia akan sampai kepada
tingkat kesempurnaan itu hanya dengan menguasai sifat keutamaan melalui jalur
ilmu. Keutamaan itulah yang akan membuat dia bahagia di dunia dan mendekatkan
dia kepada Allah SWT, sehingga ia menjadi bahagia di akherat kelak. [3]
2. Kurikulum
Konsep
kurikulum yang dikemukakan Al-Ghazali terkait erat dengan konsepnya mengenai
ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Al-Ghazali ilmu terbagi pada tiga bagian,
sebagai berikut.
Pertama, ilmu-ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak, yaitu
ilmu-ilmu yang tidak ada manfaatnya, baik didunia maupun di akherat, seperti
ilmu sihir, ilmu nujum dan ilmu ramalan.
Kedua, ilmu-ilmu yang terpuji baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu
yang erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya, seperti ilmu yang
berkaitan dengan kebersihan diri dari cacat dan dosa serta ilmu yang dapat
menjadi bekal bagi seseorang untuk mengetahui yang lebih baik dan
melaksanakannya, ilmu-ilmu yang mengajarkan manusia tentang cara-cara
mendekatkan diri kepada Allah dan melakukan sesuatu yang diridhai-Nya, serta
dapat membekali hidupnya di akhirat.
Ketiga, ilmu-ilmu yang
terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika dipelajarinya
secara mendalam, karena dengan mempelajarinya secara mendalam itu dapat
menyebabkan terjadinya kekacauan dan kesemerawutan antara keyakinan dan
keraguan, serta dapat pula membawa kepada kekafiran, seperti ilmu filsafat. Mengenai ilmu filsafat
dibagi oleh Al-Ghazali menjadi ilmu matematika, ilmu-imu logika, ilmu ilahiyat,
ilmu fisika, ilmu politik, dan ilmu etika.[4]
3. Metode Pengajaran
Perhatian
Al-Ghazali dalam bidang metode ini lebih ditujukan pada metode khusus bagi
pengajaran agama untuk anak-anak. Untuk ini ia telah mencontohkan sebuah metode
keteladanan bagi mental anak-anak, pembinaan budi pekerti dan penanaman sifat–sifat
keutamaan pada diri mereka. Perhatian Al-Ghazali akan pendidikan agama dan
moral ini sejalan dengan kecenderungan pendidikannya secara umum, yaitu
prinsip-prinsip yang berkaitan secara khusus dengan sifat yang harus dimiliki
oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini mendapatkan perhatian
khusus dari Al-Ghazali, karena berdasar pada prinsipnya yang mengatakan bahwa
pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara dua pribadi, yaitu guru dan
murid. Dengan demikian faktor
keteladanan yang utama menjadi bagian dari metode pengajaran yang amat penting.
Tentang
pentingnya keteladanan utama dari seorang guru tersebut di atas, juga dikaitkan
dengan pandangannya tentang pekerjaan mengajar. Menurutnya mengajar adalah
pekerjaan yang paling mulia dan sekaligus sebagai tugas yang paling agung.
Pendapatnya ini, berkali-kali tentang tingginya status guru yang sejajar dengan
tugas kenabian. Lebih lanjut Al-Ghazali mengatakan bahwa wujud yang mulia
dimuka bumi ini adalah manusia, dan bagian inti manusia yang termulia adalah
hatinya. Guru bertugas menyempurnakan, menghias, mensucikan dan menggiringnya
mendekati Allah SWT. Dengan demikian mengajar adalah bentuk lain pengabdian
manusia terhadap Tuhan dan menjunjung tinggi perintah-Nya. Menurutnya Allah
telah menghiasi hati seorang alim dengan ilmu yang merupakan sifat-Nya yang
paling khusus. Seorang alim adalah pemegang kas, ia bukan pemillik kas dalam
sebuah perbendaharaan. Ia dibenarkan berbelanja dengan uang kas itu untuk siapa
saja yang memerlukannya. Kiranya tidak ada lagi martabat yang lebih tinggi dari
pada sebagai perantara antara Tuhan dengan makhluk-Nya dalam mendekatkannya
kepada Allah, dan menggiringnya kepada surga tempat tinggal tertinggi.
4. Kriteria Guru yang Baik
Sifat-sifat
atau tugas-tugas yang harus dimiliki oleh seorang guru sebagai berikut :
Pertama, kalau praktek
mengajar dan penyuluhan sebagai keahlian dan profesi dari seorang guru, maka
sifat terpenting yang harus dimilikinya adalah rasa kasih sayang.
Kedua, karena mengajarkan ilmu merupakan kewajiban agar bagi setiap orang
yang alim (berilmu), maka seorang guru tidak boleh menuntut upah atas
jerih payahnya mengajarnya itu. Seorang guru harus meniru Rasulullah SAW, yang
mengajar ilmu hanya karena Allah, sehingga dengan mengajar itu ia dapat
mendekatkan dirinya kepada Allah SWT.
Ketiga, seorang guru yang baik hendaknya berfungsi juga sebagai pengarah
dan penyuluh yang jujur dan benar di hadapan murid-muridnya. Ia tidak boleh
membiarkan muridnya mempelajari pelajaran yang lebih tinggi sebelum ia
menguasai pelajaran yang sebelumnya.
Keempat, dalam kegiatan mengajar seorang guru hendaknya menggunakan cara
yang simpatik, halus dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian dan
sebagainya.
Kelima, seorang guru yang baik juga harus tampil sebagai teladan atau
panutan yang baik dihadapan murid-muridnya. Dalam hubungan ini seorang guru
harus bersikap toleran dan mau menghargai keahlian orang lain.
Keenam, seorang guru yang baik juga harus memiliki prinsip mengakui adanya
perbedaan potensi yang dimiliki murid secara individual, dan memperlakukan sesuai
dengan tingkat perbedaan yang dimiliki muridnya itu.
Ketujuh, seorang guru yang baik menurut Al-Ghazali adalah guru yang di
samping memahami perbedaan tingkat kemampuan dan kecerdasan muridnya, juga
memahami bakat, ta’biat dan kejiwaan muridnya sesuai dengan tingkat perbedaan
usianya.
Kedelapan, seorang guru yang baik adalah guru yang berpegang teguh kepada
prinsip yang diucapkannya, serta berupaya untuk merealisasikannya sedemikkian
rupa. Dalam hubungan ini al-Ghazali mengingatkan agar seorang guru jangan
sekali-kali melakukan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip yang
dikemukakannya.
5. Sifat Murid Yang Baik
Sejalan dengan
tujuan pendidikan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka belajar
termasuk ibadah. Dengan dasar pemikiran ini, maka seorang murid yang baik,
adalah murid yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
Pertama, seorang harus berjiwa bersih, terhindar dari budi pekerti yang
hina dina dan sifat-sifat tercela lainnya. Sebagaimana halnya shalat, maka
menuntut ilmu pun demikian pula. Ia
hanya dilakukan dengan hati yang bersih, terhindar dari hal-hal yang jelek dan
kotor, termasuk di dalamnya sifat-sifat yang rendah seperti marah, sakit hati,
dengki, tinggi hati, ujub, takabur dan sebagainya.
Kedua, seorang murid yang baik hati, juga harus menjauhkan diri dari
persoalan-persoalan duniawi, mengurangi keterkaitan kepada dunia dan
masalah-masalahnya dapat mengganggu
lancarnya penguasaan ilmu.
Ketiga, seorang murid yang baik hendaknya bersikap rendah hati atau
tawadhu. Sifat ini begitu amat ditekankan oleh Al-Ghazali. Al-Ghazali
menganjurkan agar jangan ada anak murid yang merasa lebih besar dari pada
gurunya, atau merasa ilmunya lebih hebat dari pada ilmu gurunya.
Keempat, khusus terhadap murid yang baru hendaknya jangan mempelajari
ilmu-ilmu yang saling berlawanan, atau pendapat yang saling berlawanan atau
bertentangan. Seorang murid yang baru hendaknya tidak mempelajari aliran-aliran
yang berbeda-beda, atau terlibat dalam
berbagai perdebatan yang membingungkan.
Kelima, seorang murid yang baik hendaknya mendahulukan mempelajari yang
wajib. Pengetahuan yang menyangkut berbagai segi (aspek) lebih baik dari pada
pengetahuan yang menyangkut hanya satu segi saja.
Keenam, seorang murid yang baik hendaknya mempelajari ilmu secara
bertahap. Seorang murid dinasehatkan agar tidak mendalami ilmu secara
sekaligus, tetapi memulai dari ilmu-ilmu agama dan menguasainya dengan
sempurna. Setelah itu, barulah ia melangkah kepada ilmu-ilmu lainnya, sesuai
dengan tingkat kepentingannya. Jika tidak mempunyai waktu untuk mendalaminya
secara sempurna, maka seharusnya ia pelajari saja rangkumannya.
Ketujuh, seorang murid hendaknya tidak mempelajari satu disiplin ilmu
sebelum menguasai disiplin ilmu sebelumnya. Sebab ilmu-ilmu itu tersusun dalam
urutan tertentu secara alami, dimana sebagiannya merupakan jalan menuju kepada
sebagian yang lain. Murid yang baik dalam belajarnya adalah yang tetap
memelihara urutan dan pentahapan tersebut.
Kedelapan, seorang murid hendaknya juga mengenal nilai setiap ilmu yang
dipelajarinya. Kelebihan dari masing-masing ilmu serta hasil-hasilnya yang
mungkin tercapai hendaknya dipelajarinya dengan baik. Dalam hubungan ini
Al-Ghazali mengatakan bahwa nilai ilmu itu tergantung pada dua hal, yaitu hasil
dan argumentasinya. Ilmu agama misalnya berbeda nilainya dengan ilmu
kedokteran. Hasil ilmu agama adalah kehidupan yang abadi, sedangkan hasil ilmu
kedokteran adalah kehidupan yang sementara. [5]
B. PEMIKIRAN IBNU
MASKAWAIH
Ibnu maskawaih seorang moralis yang terkenal. Hampir setiap pembahasan
akhlak dalam islam, filsafatnya ini selalu mendapat perhatian utama.
Keistimewaan yang menarik dalam tulisannya ialah pembahasan yang didasarkan
pada ajaran islam (al-Qur’an dan hadits) dan dikombinasikan dengan
pemikiran yang lain sebagai pelengkap, seperti filsafat Yunani Kuno dan
pemikiran Persia. Dimaksud dengan pelengkap ialah sumber lain baru diambilnya
apabila sejalan dengan ajaran Islam dan sebaliknya ia tolak, jika tidak
demikian.[6]
Ibnu Miskawaih lebih dikenal sebagai filsuf akhlak (etika)
walaupun perhatiannya luas meliputi ilmu-ilmu yang lain seperti kedokteran,
bahasa, sastra, biologi dengan teori evolusinya dan sejarah. Bahkan dalam
literatur filsafat Islam, tampaknya hanya Ibnu Miskawaih inilah satu-satunya
tokoh filsafat akhlak.
Ibnu Miskawaih meninggalkan banyak karya penting, misalnya
tahdzibul akhlaq (kesempurnaan akhlak), tartib as-sa’adah (tentang
akhlak dan politik), al-siyar (tentang tingkah laku kehidupan), dan
jawidan khirad (koleksi ungkapan bijak). Seperti ilmuwan lainnya pada era abad
ke-4 H dan ke-5 H (abad ke-10 M dan ke-11 M) Ibnu Miskawayh merupakan orang
yang memiliki wawasan luas dalam bidang filosofi, berdasarkan pada
pendekatannya terhadap filsafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab.[7]
Pemikiran pendidikan Ibnu Miskawaih tidak dapat di lepaskan
dari konsepnya tentang manusia dan akhlak. Untuk kedua masalah ini dapat
dikemukakan sebagai berikut:
1. Dasar Pemikiran Ibnu Maskawaih
Terdapat sejumlah pemikiran yang mendasari pemikiran Ibnu
Maskawaih dalam bidang pendidikan. Pemikiran tersebut antara lain :
a. Konsep Manusia
Sebagaimana filosof lainnya Ibnu Maskawaih memandang manusia
sebagai makhluk yang memiliki macam-macam daya. Menurutnya dalam diri manusia
ada tiga daya, yaitu: (1) Daya bernafsu (an-nafs al- bahimiyyat) sebagai
daya terendah; (2) Daya berani (an-nafs as-sabu’iyyat) sebagai daya
pertengahan, dan (3) Daya berfikir (an-nafs an-nathiqah) sebagai daya
tertinggi. Ketiga daya ini merupakan unsur ruhani manusia yang asal kejadiannya
berbeda.
Sesuai dengan pemahaman tersebut di atas, unsur ruhani
berupa an-nafs al-bahimiyyat dan an-nafs as-sabu’iyyat berasal
dari unsur materi, sedangkan an-nafs an-nathiqah berasal dari ruh tuhan.
Karena itu Ibnu Maskawaih berpendapat bahwa kedua an-nafs yang berasal dari
materi akan hancur bersama hancurnya badan dan an-nafs an-nathiqah tidak
akan mengalami kehancuran.
b. Konsep Akhlak
Pemikiran Ibn Maskawaih dalam bidang akhlak termasuk salah
satu yang mendasari konsepnya dalam pendidikan. Konsep akhlak yang
ditawarkannya berdasar pada doktrin jalan tengah.
Doktrin jalan tengah (al-wasath) yang dalam bahasa
Inggris dikenal dengan istilah The Doktrin Of Mean atu The Golden
ternyata sudah dikenal para filosof sebelum Ibnu Maskawaih. Ibn Maskawaih
secara umum memberi pengertian pertengahan (jalan tengah) tersebut
antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi
tengah antara dua ekstrem. Akan tetapi ia tampak cenderung berpendapat bahwa
keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem
kelebihan dan ekstren kekurangan masing-masing jiwa manusia. Dari sini terlihat
bahwa Ibnu Maskawaih memberi tekanan yang lebih untuk pertama kali buat
pribadi. [8]
2. Konsep Pendidikan
Bertolak dari dasar pemikiran tersebut, Ibnu Makawaih
membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak, di sini
terlihat dengan jelas bahwa karena dasar pemikiran Ibnu Maskawaih dalam bidang
akhlak, maka konsep pendidikan yang dibangunnya pun adalah pendidikan akhlak.
Konsep pendidikan akhlak dari Ibnu Maskawaih ini selengkapnya dapat dikemukakan
sebagai berikut :
a. Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibnu Maskawaih
adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk
melahirkan semua perbuatan bernilai baik. Sehingga mencapai kesempurnaan dan
memperoleh kebahagian sejati dan sempurna. Dengan alasan ini, maka Ahmad Abd
al-Hamid as-Sya’ir dan Muhammad Musaa menggolongkan Ibnu Miskawaih sebagai
filosof yang bermazhab as-sa’adat di bidang akhlak.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka tujuan pendidikan
yang ingin dicapai Ibnu Maskawaih bersifat menyeluruh, yakni mencakup
kebahagiaan hidup manusia dalam arti yang seluas-luasnya.
b. Materi Pendidikan Akhlak
Untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan, Ibnu Maskawaih
menyebutkan beberapa hal yang perlu dipelajari, diajarkan atau dipraktekkan.
Sesuai dengan konsepnya tentang manusia, secara umum Ibnu Maskawaih
mengehendaki agar semua sisi kemanusiaan mendapatkan materi didikan yang
memberi jalan bagi tercapainya tujuan pendidikan. Materi-materi dimaksud oleh
Ibnu Maskawaih diabdikan pula sebagai bentuk pengabdian kepada Allah Swt.
Sejalan dengan uaraian tersebut di atas, Ibnu Maskawaih
menyebutkan tiga hal pokok yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan
akhlaknya. Tiga hal pokok tersebut adalah (1) hal-hal yang wajib bagi kebutuhan
tubuh manusia, (2) hal-hal yang wajib bagi jiwa, dan (3) hal-hal yang wajib
bagi hubungannya dengan sesama manusia.
c. Pendidik dan Anak Didik
Pendidikan yang dalam hal ini guru, instruktur, ustadz atau
dosen memegang peranan penting dalam keberlangsungan kegiatan pengajaran dan
pendidikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Sedangkan anak didik yang
selanjutnya di sebut murid, siswa, peserta didik atau mahasiswa merupakan
sasaran kegiatan pengajaran dan pendidikan merupakan bagian yang perlu mendapatkan
perhatian seksama. Perbedaan anak didik dapat menyebabkan terjadinya perbedaan
materi, metode, pendekatan dan sebagainya.
Kedua aspek pendidikan (pendidik dan anak didik) ini
mendapat perhatian yang khusus dari Ibnu MaskawaIh, menurutnya orang tua tetap
merupakan pendidik yang mula-mula bagi anak-anaknya dengan syari’at sebagai
acuan utama materi pendidikannya. Karena peran yang demikian besar dari orang
tua dalam kegiatan pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang harmonis antara
orang tua dan anak yang didasarkan pada cinta kasih.
Perlunya hubungan yang didasarkan pada cint kasih antara
guru dan murid tersebut di atas dipandang demikian penting, karena terkait
dengan keberhasilan dalam kegiatan belajar mengajar yang didasarkan atas cinta
kasih antara guru dan murid dapat memberi dampak yang positif bagi keberhasilan
pendidikan.[9]
d. Lingkungan Pendidikan
Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa usaha mencapai kebahagiaan
(Assa’adat) tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus bersama atas
dasar saling menolong dan saling melengkapi. Setiap pribadi merasa bahwa
kesempurnaan dirinya akan terwujud karena kerempurnaan yang lainnya. Atas dasar
itu, maka setiap individu mendapat posisi sebagai salah satu anggota dari
seluruh anggota badan. Manusia menjadi kuat dikarenakan kesempurnaan anggota-
anggota badannya. Beliau juga mengatakan bahwa sebagai makhluk sosial, manusia
memerlukan kondisi yang baik dari luar dirinya.
Selama ini dikenal adanya tiga lingkungan pendidikan yaitu:
lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Ibnu maskawaih secara eksplisit
tidak membicarakan ketiga masalah lingkungan tersebut. Ibnu Miskawaih
membicarakan lingkungan pendidikan dengan cara yang bersifat umum, yaitu:
dengan membicarakan lingkungan masyarakat pada umumnya, mulai dari lingkungan
sekolah yang menyangkut hubungan guru dengan murid, lingkungan pemerintahan
yang menyangkut hubungan rakyat dan pemimpinnya, sampai lingkungan rumah tangga
yang meliputi hubungan orangtua dengan anak dan anggota keluarga yang lainnya.
Keseluruhan lingkungan ini satu dan yang lainnya secara akumulatif berpengaruh
terhadap terciptanya lingkungan pendidikan.
e. Metodologi Pendidikan
Metodologi pendidikan dapat diartikan sebagai cara- cara
yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan dalam hal ini adalah
perbaikan akhlak. Ibnu Miskawaih berpendirian bahwa akhlak seseorang dapat
menerima perubahan yang lebih baik jika diusahakan. Jika demikian, maka usaha-
usaha untuk mengubahnya diperlukan adanya cara- cara yang efektif yang
selanjutnya dikenal dengan istilah metodologi.
Terdapat beberapa metode yang diajukan Ibnu Miskawaih dalam
mencapai akhlak yang baik. Pertama, adanya kemauan yang
sungguh- sungguh untuk berlatih terus- menerus dan menahan diri untuk
memperoleh keutaman dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan
jiwa.. Latihan ini terutama diarahkan agar manusia tidak memperturutkat kemauan
jiwa al- syahwaniyyat dan al- ghadabiyyat. Latihan yang sungguh-
sungguh semacam ini di umpamakan Ibnu Miskawaih seperti kesiapan raja sebelum
berhadapan dengan musuh. Kesiapan yang dimaksud mengandung pengertian harus
dilakukan secara dini, terus menerus dan tidak menunggu waktu. Kedua,
dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin
bagi dirinya. Adapun pengetahuan dan pengalaman yang dimaksud disini adalah
pengetahuan dan pengalaman yang berkenaan dengan hukum- hukum akhlak yang
berlaku serta sebab munculnya kebaikan dan keburukan bagi manusia. Dengan cara
ini seseorang tidak akan hanyut kedalam perbuatan yang tidak baik, karena ia
bercermin kepada perbuatan buruk dan akibatnya yang dialami orang lain.
Manakala ia mengukur kejelekan atau keburukan orang lain, ia kemudian
mencurigai dirinya, bahwa dirinya juga sedikit banyak memiliki kekurangan
seperti orang tersebut, lalu menyelidiki dirinya. Dengan demikian, maka setiap
malam dan siang ia akan selalu meninjau kembali semua perbuatannya, sehingga
tidak satupun perbuatannya terhindar dari perhatiannya.[10]
C.
PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU KHALDUN
1.
Corak Pemikiran Ibnu Khaldun
Ibnu khaldun sebagai
seorang pemikir adalah produk sejarah. Oleh karena itu, untuk membaca
pemikirannya. Aspek historis yang mengitarinya tidak dapat dilepaskan begitu
saja. Namun yang jelas, pemikiran Ibnu Khaldun tidak dapat dipisahkan dari akar
pemikiran islamnya.disinilah letak alasan mengapa Iqbal mengatakan bahwa
seluruh semangat al-Muqaddimah, yang merupakan manifestasi pemikiran Ibnu
Khaldun, diilhami pengarangnya dari Al-Qur’an sebagai sumber utama dan pertama
ajaran Islam.
Sebagai seorang filsuf
muslim. Pemikiran Ibnu Khaldun sangatlah Rasional dan banyak berpegang kepada
logika. Hal ini sangat di mungkinkan karena Ibnu Khladun pernah belajar
filsafat pada masa mudanya. Banyak pemikiran para filsuf sebelumnya telah
mempengaruhi pemikiran filsafatnya. Tokoh yang paling dominan mempengaruhi
pemikiran filsafat Ibnu Khaldun adalah al-Ghazali (1058-1111 M.)
2. Cara Memperoleh
Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan
menurut Ibnu Khaldun merupakan kemampuan manusia untuk membuat analisis dan
sintesis sebagai hasil dari proses berfikir. Proses berfikir seperti ini
disebut Ibnu Khaldun sebagai af’idah (jamak dari fu’ad). Ada tiga tingkatan
proses berfikir menurut Ibnu Khaldun. Tingkatan pertama disebut al-‘alq
al-tamyizi, yaitu pemahaman intelektual manusia terhadap segala sesuatu
yang ada di luar alam semesta dalam tatanan alam yang berubah, dengan maksud
supaya manusia mampu menyeleksinya dengan kemampuan sendiri. bentuk pemikiran
semacam ini kebanyakan berupa persepsi-persepsi (tasawwur), yang dapat
membantu manusia membedakan segala sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, dengan
menolak yang tidak bermanfaat. Tingkatan kedua disebut al-‘alq
al-tajribi, yaitu pemikiran yang memperlengakapi dengan ide-ide dan prilaku
yang dibutuhkan dalam pergaulan dengan orang lain. Bentuk pemikiran seperti ini
kebanyakan berupa apersepsi (tasdiq) yang dicapai manusia melalui
pengalaman, hingga benar-benar dirasakan manfaatnya. Tingkatan ketiga disebut
al-‘aql al-nazari, yaitu pikiran yang memperlengkapi dengan pengetahuan (‘Ilm)
atau pengetahuan hipotesis (dzaan) mengenai sesuatu yang berbeda di belakang
persepsi indera tanpa tindakan praktis yang menyertainya. bentuk pemikiran
seperti ini merupakan gabungan persepsi dan apersepsi yang tersususn secara
khusus yang dapat membentuk sebuah pengetahuan. Dengan pengetahuan semacam ini
manusia mencapai kesempurnaan realitasnya yang disebut al-haqiqiah
al-insaniyyah. Ketiga tingkatan yang disebut berfikir ini merupakan pembeda
manusia dengan makhluk yang lainnya.
Dengan tiga tingkatan
cara memperoleh ilmu pengetahuan, Ibnu Khaldun membagi ilmu pengetahuan dalam
dua kategori, yaitu :
1. al‘ulum
al aqliyyah dan,
2. al’ulum al-naqliyah.[11]
3. Tujuan Pendidikan
Fathiyah Hasan Sulaiman
dalam Pandangan Ibnu Khaldun tentang Ilmu dan pendidikan menyebutkan bahwa
tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah sebagai berikut :
a. memberikan
kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena aktivitas penting
bagi terbukanya pikiran dan kematangan individu ini bermanfaat bagi masyarakat.
b. memperoleh berbagai
ilmu pengetahuan, sebagai alat yang membantu manusia agar dapat hidup dengan
baik, dalam rangka terwujudnya masyarakat yang maju dan berbudaya.
c. memperoleh lapangan
pekerjaan yang dapat digunakan untuk mencari penghidupan.
Dari tujuan di atas tampak bahwa menurut Ibnu Khaldun
pendidikan atau “ilmu dan mengajar merupakan suatu kemestian dalam membangun
masyarakat manusia” . pendidikan adalah upaya melestarikan dan mewariskan
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, agar masyarakat tersebut dapat tetap
eksis, inilah kiranya tujuan utama pendidikan menurut Ibnu Khaldun dalam
konteks ini telah memandang pendidikan sebagai bagian dari proses peradaban
manusia.
4. Pendidik dan Peserta
Didik
Ibnu Khladun memandang usaha mendidik dalam aktivitas pendidikan sebagai
salah satu pekerjaan yang memerlukan keahlian (Min jumlah al-sana’i). Kosekuensi
dari pandangan ini adalah bahwa untuk menjadi seorang pendidik (guru)
diperlukan beberapa kualifikasi tertentu. Untuk ini, ibnu Khaldun menghendaki
bahwa sesorang pendidik diharuskan memiliki pengetahuan yang menandai tentang
perkembangan kerja akal secara bertahap. Ibnu Khaldun menganjurkan agar
pendidik menggunakan metode mengajar yang menyesuaikan dengan tahap-tahap
perkembanagn peserta didik. Dengan ini Ibnu Khaldun mengkritik para pendidik
yang tidak menguasai keahlian mengajar. Pada tahap permulaan pendidik tidak
diperkenankan menyajikan materi pengetahuan yang sukar dipelajari peserta
didik. Ini dapat membingungkan mereka. Sebab kemampuan dan kesanggupan peserta
didik untuk memahami suatu materi itu bersifat bertahap sedikit demi sedikit (tadarruj).
Ibnu Khaldun menulis: ”Ketahuilah bahwa mengajarkan ilmu pengetahuan kepada
pelajar hanya akan efektif bila dilakukan dengan berangsur-angsur (tadrij),
setapak demi setapak dan sedikit demi sedikit”.
Pasa sisi lain, Ibnu Khaldun memandang peserta didik sebagai yang belajar
(muta’alim) atau seorang anak yang perlu bimbingan mengembangkan segala
potensi yang Allah anugerahkan kepadanya. Ibnu Khaldun dalam al-Muqaddimah-nya
telah memberikan beberapa petunjuk bagaimana seorang muta’alim agar berhasil
dalam studinya.[12]
5.
Metode Pendidikan
Kepada peserta didik yang berada dalam taraf wildan, Ibnu Khaldun
menganjurkan agar ta’lim diberikan dengan metode al-qurb wa al-mulayanah yang
diterjemahkan Franz Rosenthal menjadi Kindly and gently (kasih sayang dan
lemah lembut). Ibnu Khaldun menolak metode al-syiddah wa al-ghilzah (kekerasan
dan kekasaran) di dalam pengajaran wildan. Ibnu Khaldun menulis, “hukuman
yang keras berupa tindakan fisik di dalam ta’lim itu berbahaya bagi muta’alim,
terutama bagi asaghir al-walad (anak-anak kecil). Alasan yang dikemukakan Ibnu
Khaldun adalah bahwa siapa yang biasa dididik dengan kekerasan, ia akan selalu
di pengaruhi kekerasan itu, akan selalu merasa sempit hati, kurang aktif
bekerja dan memiliki sifat bekerja dan memiliki sifat pemalas, akan menyebabkan
ia berdusta serta melakukan hal-hal buruk, karena takut akan dijangkau oleh
tangan-tangan kejam. Hal ini selanjutnya akan membuat ia suka menipu dan
berbohong. Sifat-sifat ini akan menjadikan kebiasaan dan perangainya. Lebih
parah lagi, hancurlah arti kemanusiaan yang ada pada dirinya.
Adapun terhadap peserta didik muta’alim Ibnu Khaldun menyarankan agar
pendidikan dilakukan dengan menggunakan metode yang memperhatikan kondisi
peserta didik, baik psikis maupun fisik.
6.
Kurikulum Pendidikan
Dengan mengkritisi kurikulum pendidikan yang berlaku bagi kawasan
Magribi, Andalusia, Ifriqiyah, dan orang-orang Timur, Ibnu Khaldun melalui
bacaan pengalamannya telah memandang kurikulum yang ditawarkan Qadli Abu Bakar
bin al –‘Arabi sebagai kurikulum pendidikan yang baik (mazhab hasan).
Ibn al-‘Arabi menasehatkan agar kurikulum yang pertama kali diajarkan kepada
peserta didik adalah mata kuliah bahasa Arab dan syair. Syair dan fiologi
bahasa Arab hendaknya diajarkan lebih dahulu, kemudian peserta didik
melanjutkan belajar ilmu hitung secara terus-menerus hingga mengenal
rumus-rumusnya. Selanjutnya, diteruskan dengan mempelajari Al-Qur’an. Al-Qur’an
jangan diajarkan permulaan, karena hal ini akan membuat mereka membaca apa yang
tidak dimengertinya, yang pada gilirannya akan sia-sia bacaannya. Setelah
ini, baru peserta didik mempelajari
prinsip-prinsip islam, seperti ilmu kalam, fiqih, ushul fiqih, ilmu hadits,
ilmu debat, dan ilmu-ilmu lainnya. Menurut Ibnu Khaldun, apa yang ditawarakan
Ibn al-Arabi ini yaitu tidak mendahulukan belajar Al-Qur’an akan membuat mereka
tidak mengalami keterputusan ilm, karena mempelajarinya secara utuh. Alasan
pendapat yang mendahulukan belajar Al-Qur’an adalah masalah berkah dan pahala Tuhan. Padahal, selama peserta
didik tinggal di rumah, selama itu pula orangtuanya diberi otoritas untuk
mengajarkan al-Qur’an kepadanya.
Dari hal di atas, menurut Ibnu Khaldun, ada tiga kategori kurikulum yang
perlu diajarkan kepada peserta didik, pertama, kurikulum yang merupakan alat bantu pemahaman. Kedua, kurikulum sekunder, yaitu mata kuliah yang menjadi pendukung
untuk memahami Islam. Ketiga, kurikulum primer, yaitu mata kuliah yang menjadi
inti ajaran Islam.[13]
BAB III
PENUTUP
Perkembangan ilmu pendidikan dalam islam
terkesan lebih lambat jika dibanding dengan ilmu- ilmu keislaman lainnya
seperti fiqh, ilmu kalam, tafsir dan ilmu hadits, hal ini disebabkan karena
kurangnya aktivitas penelitian dibidang ilmu pendidikan islam. Dalam makalah
ini disajikan pandangan dan pemikiran para tokoh cendikiawan muslim, seperti
Imam Al- Ghazali, Ibn Miskawaih dan Ibnu Khaldun yang memiliki pemikiran yang
tuntas tentang pendidikan islam, seperti tujuan pendidikan, kurikulum, guru dan
anak didik, metodologi pengajaran, menejemen dll.
Pendidikan adalah masalah yang universal
dalam arti ada pada setiap bangsa dan setiap zaman. Kajian terhadap masalah
pendidikan tidak akan berakhir, mengingat zaman selalu berkembang dan tuntutan
masyarakat terhadap pendidikan juga turut berkembang. Untuk itu kita
membutuhkan adanya konsep pendidikan yang dapat menghasilkan lulusan yang
unggul yang mampu eksis secara fungsional ditengah- tengah masyarakat yang
semakin penuh persaingan. Pemikiran dan konsep para pakar yang disajikan dalam
makalah ini, tampaknya perlu dijadikan bahan renungan untuk selanjutnya
difikirkan kemungkinan pelaksanaannya, apabila dalam pemikiran mereka itu masih
ada yang cocok untuk diterapkan dimasa sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada. 2000.
Sudarsono.
Filsafat Islam. Jakarta: PT
Rineka Cipta.1997.
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof & Filsafatnya, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada. 2007.
Toto Suharto. Filsafat
Pendidikan Islam, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2011.
http://michailhuda.Multiply.Com/journal/item/160/FILSAFAT_ETIKA_ Mengupas_ Pemikiran_
Etika_Antara_Ibn_Miskayh_dengan_Al-_Ghazali. Di akses hari Sabtu, tanggal
1-Juni-2012.
[1] Drs. Sudarsono, S.H. Filsafat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
1997), cet ke 1, h, 72.
[2] Ibid, h, 67.
[3] Dr. H. Abuddin Nata, MA. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), cet ke 1, h, 86-87.
[4] Ibid, h, 88-91.
[5] Ibid, h, 94-101.
[6] Prof. Dr. Hj. Sirajuddin Zar, M.A.
Filsafat Islam Filosof & Filsafatnya, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2007), Ed 1_2, h,
134-135.
[7] http://michailhuda. Multiply.
Com/journal/item/160/FILSAFAT_ETIKA_ Mengupas_ Pemikiran_
Etika_Antara_Ibn_Miskayh_dengan_Al-_Ghazali.
[8] AbuddinNata, Op.cit, h, 6-9.
[9] Abuddin Nata, Op.cit, h, 11-20.
[10] Abuddin Nata, Op.cit,
h, 20-24.
[11] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2011), cet 1, h, 234-240.
[12] Ibid, h, 241-243.
[13] Ibid, h, 245-249.
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan islam yang selama
ini ada lebuh tampak sebagai sebuah prektek pendidikan, dan bukan sebagai ilmu
dalam arti ilmu yang memiliki struktur bahasan dan metodologi penelitiannya
tersendiri. Hal ini berbeda dengan Ilmu Pendidikan pada umumnya yang pertumbuhan dan perkembangannya
jauh pesat dibandingkan dengan ilmu pendidikan islam. Kondisi ilmu pendidikan
islam yang demikian itu, tampaknya perlu segera diatasi dengan cara menumbuhkan
dan mengembangakan ilmu pendidikan islam melalui serangkaian kajian dan
penelitian sebagaimana yang dilakukan oleh pakar- pakar muslim sebelumnya.
Dengan menggunakan
pendekatan historis dan filosofis serta analisis yang bersifat deskriftif,
kiranya penelitian terhadap tokoh- tokoh Pendidikan Islam ini patut dan perlu
dikembangakan. Beberapa tokoh yang ditampilkan dalam makalah ini diantaranya
Imam Al- Ghazali, Ibn Maskawaih dan Ibnu Khaldun yang merupakan tokoh- tokoh
cendikiawan muslim pada abad klasik. Di tengah- tenagahsituasi dimana umat
islam saat ini sedang mencari model pendidikan yang unggul dan terpadu sebagai
upaya menjawab kebutuhan masyarakat, sepertinya pemikiran kependidikan dari
para tokoh yang dikaji dalam buku ini patut dijadikan bahan perbandingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar